Penulisan Sejarah Ulang

Table of Contents
Penulisan Sejarah Ulang

Pemerintah Prabowo akan mengubah sejarah dengan dilincurkannya proyek penulisan sejarah Indonesia yang dengan bundget hanya 7 miliar. Proyek ini dipegang oleh Kementerian Kebudayaan dimana menterinya adalah aktivis Gerindra bernama Fadli Zon. Orang kaya dari Sumatera yang menjadi anggota MPR sejak zaman Soeharto.

Publik resah akan proyek penulisan sejarah ulang ini. Bukan kenapa-napa, namun penguasa atau pemerintah saat ini memiliki pandangan kesejarahan bahkan menjadi pelaku sejarah sejak zaman orde baru. Terutama pada masa reformasi, publik masih mempertanyakan kembali bagaimana penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa 1998, terutama peristiwa terhadapetnis tionghoa khusunya para perempuannya yang mengalami kekerasan secara seksual.

Apakah mungkin kekerasan seksual yang terjadi saat reformasi 1998 tersebut hanyalah ekses peristiwa. Sehingga hanya dianggap seperti saat ada peristiwa demo, kemudian ada aparat keamanan yang haus kemudian jajan es di pinggir jalan. Hal ini menjadi pemikiran bahkan hingga orang awam seperti penulis. Okelah pemerintah memiliki versi tersendiri, bahkan silahkan buat yang mengglorifikasi para pejabat. Pada saatnya nanti ketika kemuakan sudah memuncak, aktivis dan rakyat jelata akan mendapatkan tempatnya untuk mengubah peta menuju negara yang benar-benar diinginkan rakyat.

Berikut ada tulisan menarik, yang perlu kita simak tentang peristiwa proyek 7 miliar rupiah untuk menulis ulang sejarah Indonesia. Tentu ini proyek murah karena tidak akan menambah kedetilan sejarah, namun mendelete beberapa chapter dalam sejarah kita. Dengan bujet segitu mungkin tidak akan melibatkan orang-orang pintar yang banyak karena hanya akan menambah halaman-halaman dalam sejarah kita yang biaya cetaknya semakin mahal.

Fadli Zon: Proyek Penggelapan Sejarah dan Penyucian Politik Sistemik

Oleh Shiny Ane El'Poesya

Dalam pekan-pekan terakhir, publik kembali dibuat gaduh oleh peluncuran proyek penulisan sejarah nasional garapan KEMDIKBUDRISTEK yang dipimpin oleh Fadli Zon. Proyek tersebut mengusung jargon “sejarah yang menyatukan,” namun substansinya justru menghidangkan narasi yang berpotensi menyesatkan. Fadli Zon bukan aktor sembarangan dalam proyek ini. Ia adalah politisi Partai Gerindra, partai yang didirikan bersama Prabowo Subianto, dan punya sejarah panjang dalam orbit kekuasaan Cendana. Sulit untuk tidak mencurigai bahwa proyek ini adalah bagian dari agenda besar: membangun legitimasi historis bagi Prabowo, dan menghapus bayang-bayang gelap masa lalu Orde Baru.

Sebagaimana kita sudah tahu, Fadli Zon adalah penulis buku kontroversial "Politik Huru-Hara Mei 1998 (2004)," dan di sana Fadli Zon sudah menunjukkan dengan jelas kecenderungan politik dan narasi sejarahnya: menolak tanggung jawab negara atas tragedi 1998, hanya menuduh IMF sebagai biang keladi krisis, dan meragukan kesaksian kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Sehingga, buku tersebut tidak hanya gagal bersandar pada metodologi historis yang sehat, tetapi juga aktif mereproduksi klaim-klaim sesat yang telah dibantah oleh Komnas Perempuan, TGPF, dan laporan-laporan investigatif independen. Upaya tersebut tampak jelas sebagai sebuah operasi rehabilitasi terhadap citra Prabowo yang dalam berbagai laporan disebut terlibat dalam penculikan aktivis dan pembentukan pasukan liar seperti Tim Mawar.

TGPF 1998 secara eksplisit menyebutkan adanya pola kekerasan seksual yang dilakukan secara sistematis, dan berbagai laporan korban menunjukkan modus operandi terkoordinasi. Laporan Komnas Perempuan tahun 2000 memuat data lebih dari 80 kasus kekerasan seksual yang diverifikasi, termasuk pengakuan visual medis. Namun dalam narasi Fadli Zon, semua itu dipinggirkan. Ia menyebut peristiwa pemerkosaan massal sebagai rumor bahkan dalam berbagai diskusi publik ia jelas mengatakan sebagai mitos yang tak pernah dibuktikan secara ilmiah. [Sic!] Pernyataan semacam itu bukan hanya mengabaikan trauma korban, tetapi juga mempermalukan integritas lembaga-lembaga negara yang secara resmi meneliti kasus tersebut.

Dalam konteks diskursus politik pasca-Orde Baru, proyek ini menjadi lebih problematik. Bukan hanya karena ia merehabilitasi Prabowo dan para pelaku Orde Baru, tapi juga karena ia berusaha membentuk ulang fondasi ideologis bangsa di bawah rezim baru yang penuh kontradiksi. Presiden Prabowo yang sekarang memimpin Indonesia adalah mantan jenderal yang hingga kini masih menyisakan banyak pertanyaan dalam sejarah HAM kita. Narasi yang dibangun dalam proyek sejarah Fadli Zon berpotensi memperkuat kultus kepemimpinan militeristik dengan cara menghapus sejarah kekerasan yang dilakukan oleh institusi militer itu sendiri.

Proyek sejarah nasional harus terbuka pada pelbagai sumber, bersifat multiperspektif, dan memberi ruang bagi suara korban, bukan hanya elit politik. Namun proyek Fadli Zon justru menyisihkan pelbagai suara ini. Tidak ada keterlibatan komunitas penyintas, tidak ada kolaborasi dengan akademisi independen, dan tidak ada keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan transisional. Yang terjadi adalah rekonstruksi sejarah dengan metode vernakular kekuasaan, bukan pengetahuan, yang melibatkan hanya mereka yang bersedia menulis kalimat-kalimat manis dan bersedia menutup mata dari kenyataan-kenyataan sejarah yang pahit.

Kecenderungan skandal sejarah ini semakin jelas ketika mengintip daftar kuratorial proyek tersebut. Nama-nama yang dipilih sebagai tim penyusun dan kurator jelas lebih banyak berasal dari mereka yang ditunjuk langsung oleh institusi negara dan tidak mewakili suara masyarakat sipil. Tidak tampak keterlibatan sejarawan progresif, apalagi akademisi yang kritis terhadap narasi dominan. Justru yang muncul sekali lagi adalah model “sejarah ilustratif” yang digunakan di era Orba—didaktik, satu arah, dan steril dari konflik sosial politik. Sejarah bukan lagi medan kritis, tetapi papan reklame ideologi sekaligus bak mandi pembaptisan.

Jika kita merunut ke belakanga, keterlibatan Fadli Zon dalam proyek-proyek glorifikasi Orde Baru juga tak bisa dipisahkan dari kedekatannya dengan keluarga Soeharto. Ia aktif di Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan sempat menjadi bagian dari lingkaran pengusaha muda binaan Tommy Soeharto. Ia juga menjabat dalam Lembaga Ekonomi dan Manajemen Nasional (LEMHANAS) yang pada masa awal reformasi digunakan sebagai kanal wacana untuk mempertahankan nilai-nilai pembangunan versi Orba. Sehingga dalam konteks ini, kita tak sedang berbicara tentang proyek sejarah semata, melainkan operasi kultural berjangka panjang yang mencoba merehabilitasi narasi militeristik-otoritarian ke dalam struktur nilai bangsa.

Dalam beberapa kesempatan, Fadli Zon juga menyampaikan bahwa sejarah harus “menyatukan bangsa, bukan memecah belah.” Pernyataan ini tampaknya elok di permukaan, namun ketika dikaitkan dengan upaya menolak keberadaan kekerasan negara, maka itu adalah eufemisme dari represi wacana. Kebenaran sejarah tidak lahir dari kompromi politik. Ia lahir dari keberanian menyebut siapa pelaku dan siapa korban. Jika narasi itu dihilangkan, maka bangsa ini sedang menciptakan disonansi kognitif kolektif yang kronis.

Buku "Politik Huru-Hara 1998" yang ditulis Fadli Zon sendiri sebenarnya telah banyak dikritik karena mengutip sumber yang tidak diverifikasi dan menyajikan kesimpulan yang bias. Misalnya, ia lebih banyak mengutip laporan intelejen dan artikel opini ketimbang kesaksian korban atau hasil temuan lembaga independen. Ia juga menampilkan Prabowo sebagai tokoh heroik yang “disingkirkan” karena ketegasannya terhadap kelompok separatis dan aktivis kiri, padahal dokumen resmi menunjukkan bahwa ia diberhentikan dari dinas militer karena pelanggaran berat atas perintah langsung Panglima TNI saat itu.

Publik jelas patut waspada bahwa proyek ini bisa menjadi fondasi bagi kurikulum pendidikan nasional baru, di mana generasi muda akan dikenalkan pada versi sejarah yang steril dari kekerasan struktural dan kesalahan negara. Jika generasi mendatang tidak diberi akses pada sejarah kritis, maka mereka akan menjadi korban kedua dari pembungkaman masa lalu. Kita harus bertanya: apakah kita rela membesarkan anak-anak kita dengan kisah kepahlawanan palsu dan narasi negara yang dicuci bersih dari dosa sejarah?.

Kegentingan ini menuntut tanggapan dari komunitas intelektual dan kebudayaan. Penyair, sastrawan, dan seniman adalah aktor penting dalam menjaga memori kolektif bangsa. Dalam sejarah bangsa kita, suara-suara aktivis, catatan-catatan para cendekiawan, budayawan, hingga puisi-puisi Wiji Thukul menjadi obor saat negara membungkam. Kini, saat sejarah kembali hendak digelapkan, para aktivis, cendekiawan, pekerja budaya dan penyair harus kembali memikul tanggung jawab itu: menyuarakan yang dilupakan, membongkar yang disembunyikan!.

Sebab apa guna demokrasi tanpa sejarah yang terbuka? Tidak ada demokrasi kecuali pura-pura ketika sejarah bisa digelapkan seenaknya. Dan tidak ada keadilan tanpa pengakuan atas kekelaman masa lalu, pula tidak ada masa depan yang sehat jika luka kolektif bangsa ini ditutup dengan tirai narasi yang menyesatkan. Maka, jika proyek sejarah versi Fadli Zon ini terus berjalan dengan mulus dan tanpa kritik dan pengawasan ketat, maka sesungguhnya yang sedang kita saksikan bukan hanya penggelapan sejarah, tetapi juga kebangkrutan moral bangsa.

Kita perlu melihat lebih jauh bagaimana proyek Fadli Zon ini bukanlah hanya proyek tentang revisi kurikulum atau penerbitan buku sejarah, tetapi tentang infiltrasi makna nasionalisme dengan tafsir yang miring ke kanan. Sebab ini serupa dengan proyek-proyek lain yang ditemukan aktif menyuntikkan pendanaan pada proyek-proyek film dokumenter, festival seni, hingga lembaga riset sejarah dengan agenda menormalisasi kekerasan negara.

Proyek sejarah versi Fadli Zon selaras dengan narasi besar Prabowo sebagai presiden: pemimpin kuat, stabil, dan tegas, sebagaimana dibentuk oleh jejak sejarah Orde Baru. Dalam berbagai pidatonya, Prabowo mengulang bahwa “bangsa ini terlalu lama dikoyak oleh debat tak produktif.” Ia mengusulkan model kepemimpinan harmoni yang dikuatkan oleh stabilitas. Namun, sejarah membuktikan bahwa kebenaran tak bisa dikubur dalam dan demi stabilitas semu. Sebab sejarah adalah arena untuk memulihkan luka, bukan untuk menimbunnya. Bila narasi penguasa hari ini ingin menghilangkan bab-bab luka itu, maka sekali lagi, bangsa ini sedang menggali makam nuraninya sendiri.

Ketahui, dalam dokumen revisi 2024 yang bocor ke publik, terdapat kecenderungan penghapusan istilah “pelanggaran HAM berat” dalam pembahasan 1998 dan Tim Mawar. Bahkan dalam salah satu rancangan modul ajar disebutkan bahwa “kontroversi politik 1998 belum dapat disimpulkan secara definitif.” Padahal, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sudah menyatakan secara eksplisit bahwa penculikan aktivis, pembunuhan massal, dan kekerasan seksual sistematis adalah pelanggaran berat.

Jika kita membiarkan proyek-proyek seperti ini terus berlanjut tanpa gugatan, maka apa bedanya bangsa ini dengan bangsa-bangsa otoriter yang memanipulasi sejarah demi keabadian kekuasaan? Apakah Indonesia akan menjadi republik baru dengan wajah tua otoritarianisme semacam itu? Mari kita menyebut yang terang sebagai terang, dan yang gelap sebagai gelap. Menulis ulang sejarah boleh saja, tetapi jika dilakukan dengan menghapus korban, menyucikan siapa saja pelaku, dan memutihkan kekuasaan, maka itu bukan penulisan sejarah, melainkan pembusukan!(Shini Ane El¹Poesya)

19 Juni 2025

Posting Komentar