Politik Sektarian di Timteng

Table of Contents

Menemukan, tepatnya ada orang yang berbagi tulisan di wahatsapp memang kadang tulisannya menarik-menarik. Ya kalo tidak menarik mengapa dibagikan begitu. Tulisan yang beredar di whatsapp memang dibuat bagus-bagus, meski kita juga harus hati-hati dalam membacanya, tidak perlu harus percaya seratus persen. Namun juga tidak perlu terbawa emosi karena tulisan tersebut, meskipun ya boleh-boleh saja emosi, toh emosi juga milik kita sendiri. Apalagi jika kemudian emosi atau semangat untuk menulis yang lebih baik atau sesuai selera kita sendiri.

Lestarikan Budaya Menulis

Budaya menulis memang harus kita tanamkan kembali, menulis panjang-panjang bagus, meskipun menulis yang pendek-pendek juga tidak kalah kerennya, karena menghemat kuota kita. hahahaha. Saling memancarkan dan membagikan pengetahuan kita yang bagus untuk khalayak ramai sangat penting. Meski harus kita jaga juga untuk tidak menyakiti perasaan dan harga diri orang lain, apalagi para sahabat kita semua. Tidak ada jeleknya berbagi sepanjang bisa bermanfaat.

Tulisan-tulisan mengenai Syiah cukup menarik perhatian, karena memang kita seakan tertutupi akan informasi mazhab satu itu yang cukup diberi stigma aneh-aneh. Justru hal ini akan membuat kita semakin penasaran dan ingin tahu. Karena memang kita yakini semua betapa fitnah kepada keluarga Rasul dan keturunannya demikian sistematis. Seakan kita diancam dan dipersulit untuk menemukan mutiara-mutiara bernilai tinggi yang menyimpan jutaan rahasia kehidupan yang sangat kita cari dan idamkan.

Berikut saya mendapati rekan yang mengirimi saya tulisan cukup berharga dan berada pada sudut pandang yang lain daripada yang ada di khalayak umum. cukup menarik.

----

E G O

Oleh Abdul Karim

*"The problem is not whether one is Sunni or Shi‘a, but when such identities are mobilized to serve political ends.”*—

Nader Hashemi & Danny Postel, The Sectarianization of Politics in the Middle East

Paradoks Syiah dan Iran

Di sebuah kawasan yang telah lama diwarnai luka dan perebutan kuasa, sebuah paradoks menyakitkan sedang dipelihara dengan penuh gairah: kebencian terhadap Syiah dan Iran melebihi kebencian terhadap Israel dan Zionisme. Begitu rezim Bashar al-Assad, yang dikenal memiliki kedekatan strategis dengan Iran dan kelompok Syiah seperti Hizbullah, tak lagi memegang tampuk kekuasaan di Suriah, maka dengan cepat wilayah itu menjadi ladang bebas bagi kekuatan asing—termasuk Israel—untuk mencaplok sejumlah lokasi strategis tanpa perlawanan berarti. Namun, kehilangan kedaulatan tersebut tak pernah benar-benar diratapi oleh sebagian pihak. Bagi mereka yang memelihara kebencian sektarian, yang terpenting adalah satu hal: asal bukan Syiah, asal bukan Iran.

Paradoks ini menyingkap lapisan terdalam dari politik identitas yang telah mengalami disorientasi moral. Postkolonialisme mengajarkan kepada kita bahwa narasi dominan seringkali dibentuk bukan oleh yang tertindas, tetapi oleh yang berkuasa. Dalam Covering Islam, Edward Said menjelaskan bagaimana media dan politik Barat (dan sekutunya) membentuk persepsi publik terhadap siapa yang layak ditakuti dan siapa yang boleh dijadikan korban. Dalam kasus Timur Tengah hari ini, bukan Israel atau AS yang menjadi ancaman terbesar menurut sebagian umat Muslim, melainkan Iran dan Syiah. Ini bukan sekadar ironi, melainkan distorsi moral yang berbahaya.

Solidaritas vs Ego

Fanatisme sektarian ini telah menukar solidaritas dengan ego. Kebencian pada kelompok Syiah, yang dilekatkan dengan mitos imperium Persia dan "bulan sabit Syiah", telah dijadikan justifikasi untuk bersekutu dengan kekuatan-kekuatan kolonial lama. Di tengah gempuran Israel terhadap Gaza dan penjajahan yang terus berlangsung di Tepi Barat, suara mereka nyaris tak terdengar. Namun ketika Iran menembakkan rudal ke arah Israel sebagai aksi perlawanan simbolik, histeria sektarian pun bangkit. Seolah-olah pembelaan terhadap Palestina menjadi tidak sah jika dilakukan oleh pihak yang dianggap Syiah.

Sectarianization of Politics

Inilah wajah dari apa yang disebut Nader Hashemi dan Danny Postel sebagai sectarianization of politics proses ketika identitas sektarian direkayasa dan dimobilisasi untuk memenuhi agenda kekuasaan, bukan iman. Identitas keagamaan, dalam narasi ini, tidak lagi menjadi cermin kedalaman spiritualitas, melainkan senjata politik yang diarahkan pada siapa pun yang berbeda secara genealogis atau geopolitik. Maka tak heran jika kelompok fanatik lebih merasa terancam oleh komunitas Yahudi Iran di Isfahan (yang belum tentu eksis secara militer) daripada oleh Zionis Israel yang sedang membombardir rumah sakit di Rafah.

Dengan kacamata realisme politik, seperti yang dikemukakan oleh John Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politics, kita bisa melihat bahwa negara-negara seperti Arab Saudi dan UEA menggunakan kebencian terhadap Iran untuk memperkuat aliansi mereka dengan Israel dan Amerika Serikat. Mereka memandang Iran sebagai ancaman utama terhadap keseimbangan kekuasaan di kawasan. Namun logika ini dengan sengaja mengabaikan penderitaan rakyat Palestina yang kini menjadi pengungsi berkali-kali. Yang penting bukan keadilan, melainkan dominasi. Bukan pembebasan, melainkan siapa yang mengatur narasi kemenangan.

Penderitaan Masa Lalu sebagai Komoditas

Sementara itu, di sisi lain, Norman Finkelstein dalam The Holocaust Industry menunjukkan bagaimana penderitaan masa lalu dapat digunakan sebagai komoditas politik untuk membenarkan penjajahan masa kini. Dalam konteks ini, narasi penderitaan umat Sunni pun kadang dijadikan komoditas sektarian, bukan empati universal. Ketika pembela Palestina tidak sesuai dengan orientasi sektarian mereka, maka mereka pun dibisukan. Yang diserang bukan hanya orang, tetapi legitimasi moral gerakannya.

Apa yang sedang berlangsung di Timur Tengah bukan hanya perang senjata, tetapi juga perang narasi. Dan perang narasi yang didorong oleh sektarianisme adalah perang yang mengorbankan rasionalitas, mengingkari sejarah bersama, dan membunuh solidaritas. Iran, dengan segala kontroversinya, tetaplah satu dari sedikit negara Muslim yang secara terang-terangan menantang hegemoni Zionis. Tapi di mata para fanatik sektarian, justru itulah yang menakutkan. Mereka khawatir jika Iran menyerang Israel, umat akan mulai mempertanyakan siapa sebenarnya yang memperjuangkan Palestina.

Fiksi Eskatologis

Sebagian besar narasi ini bahkan berakar pada fiksi eskatologis, seperti keyakinan terhadap “Yahudi Isfahan” yang konon akan menjadi pasukan Dajjal. Narasi ini, alih-alih memperkuat kesadaran keagamaan, justru menumpulkan empati dan menggiring umat untuk percaya bahwa musuh terbesar adalah internal, bukan penjajah. Inilah bentuk paling mutakhir dari kolonialisme mental: ketika umat membenci dirinya sendiri lebih dari penjajah yang menindasnya.

Dan pada akhirnya, semua ini menunjukkan satu hal: ketika kebencian telah dijadikan iman, maka apa pun bisa dibenarkan—asal bukan Syiah, asal bukan Iran. Di titik ini, agama bukan lagi jalan menuju kebenaran, melainkan medan perang ego. Fanatisme telah menggantikan akal, dan ketika ego telah mengambil alih, maka kebenaran pun harus menyingkir. Inilah krisis moral umat yang sesungguhnya. Bukan karena mereka tidak tahu, tetapi karena mereka memilih untuk tidak peduli. Dan karena mereka lebih takut pada citra kemenangan Iran, daripada pada genosida yang nyata di Gaza.

---

Menarik bukan, dan kadang tidak pernah terlintas dalam benak kita, apa yang terjadi di sana, di belahan bumi bernama Persia yang betul-betul hingga sekarang informasinya sangat ditutupi dan memang seakan seperti diciptakan untuk menumbuhkan rasa kebencian. Wallahualam bisaawab.

1 komentar

Comment Author Avatar
29 Juli 2025 pukul 00.17 Delete
temen saya ada yang pernah mengatakan, aliran Islam di Iran memang aliran yang tidak main-main. Mereka benar-benar mengimani jalan Sayidina Husein. Bukan aliran ecek-ecek yang mudah diombang-ambing dengan dunia.
Dan saya pikir, pendapatnya itu betul juga ya