Ulama Wahabi Ini Akhirnya Menjadi Syiah Ali: Kisah Dr. Isam al-Imad

Sungguh benar, pernah dengar cerita bahwa anak yang terlahir dari hubungan gelap, dia tidak akan suka atau takut ketika melihat Sayidina Ali, baik dalam bentuk foto maupun ketika benar-benar dapat melihat atau bertemu dengan beliau. Namun sebaliknya seorang anak manusia yang terlahir dari hubungan yang halal dan suci maka dia akan merasa sangat teduh, atau biasa saja tanpa ada rasa benci dan takut melihat wajah Imam Ali.

Hidayah adalah hak Allah SWT. Allah dapat memberikan hidayah kepada siapapun semau-Nya. Hal tersebut adalah kebijaksanaan Allah semata. Maka jangan heran apabila ada orang-orang yang tiba-tiba mendapatkan pencerahan dalam hati dan pikirannya kemudian dapat memeluk muslim dan menjadi seorang muslim yang jempolan. Hal tersebut adalah kehendak Allah SWT, bisa melalui orang-orang yang dipilihNya, para malaikatnya, pasukannya yang tidak kita ketahui jumlahnya dan sebagainya, maupun tiba-tiba saja secara ajaib.

Rencana Allah adalah yang terbaik, karena Dialah super power itu, pemilik semua rahasia alam dan jawabannya.

Apa yang terjadi kepada para pengikut Allah SWT, keluarga Rasulullah adalah kisah-kisah yang sangat dalam dan terpuji, karena kedekatan mereka dengan sang Khalik pun karena tugas-tugas yang diemban untuk membela agama Allah. Jihad, syahid merupakan titik tertinggi perjuangan insan untuk membela jalan Allah dan Ridha Allah SWT.

Pernyataan di bawah adalah kata-kata Dr Isam al-Imad yang sebelum ini duduk sebagai mufti Wahabi di Yaman dan tergolong salah satu guru besar Wahabi di kampus-kampus pendidikan tinggi agama di Arab Saudi. Dia dipercaya menjadi Imam Jumat Wahabi di ibukota Yaman, Sanaa. Setelah melakukan studi dan telaah yang cukup luas, Dr Isam akhirnya mengakui ketidakbenaran ajaran Wahabi dan memilih Syiah sebagai mazhabnya yang baru.

Isam Ali Yahya al-Imad, lahir di desa al-Imad, di selatan Yaman. Sejak usia enam tahun dia sudah mulai mempelajari ilmu agama di lembaga pendidikan Wahabi. Pendidikan tinggi ia dapatkan di salah satu perguruan tinggi agama di Arab Saudi dengan mengambil jurusan ilmu Hadis dan al-Quran. Dia tergolong pemuda yang cerdas sehingga berkesempatan berguru kepada para ulama besar Wahabi. Guru utamanya adalah Abdul Aziz bin Baz, Mufti Besar Wahabi di Arab Saudi. Isam belajar tentang akidah kepada Mufti ini. Semua buku akidah yang ditulis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri faham Wahabi, rampung dibaca dan dipelajarinya seperti kitab ‘Tauhid', ‘Kasyf al-Syubuhat fi al-Tauhid', dan ‘Sirah Nabawiyah'. Di kemudian hari, dia mengajarkan kitab-kitab itu di perguruan tinggi Arab Saudi. Di bawah pengaruh ajaran Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Abdul Wahhab, Isam al-Imad juga menentang ajaran Syiah. Dia sempat menulis buku yang menolak Syiah.

Namun dalam perjalanan hidupnya terjadi perubahan jiwa dan pemikiran yang menarik setelah dia mengenal tulisan-tulisan Sayyid Qutub. Sayyid Qutub adalah salah seorang ulama Sunni di Mesir yang amat mengagumi dan mencintai Imam Ali as dan Imam Husein as. Dialah yang menulis kitab ‘Kutub wa Syakhshiyyat' yang dengan panjang lebar menjawab segala tuduhan Ibnu Taimiyyah yang dialamatkan kepada Imam Ali as. Mengenai hal ini, Isam al-Imad mengatakan, "Karena spesialiasiku di bidang ilmu hadis, aku melihat bahwa dari sisi sanad argumentasi Sayyid Qutub sangat benar. Sebelumnya aku tidak tertarik dengan Imam Ali karena aku mengenalnya lewat buku-buku Ibnu Taimiyyah. Tapi setelah membaca buku-buku Sayyid Qutub dan buku Ibnu Aqil al-Sayfi'i, mufti Syafii di Yaman, aku menemukan kecintaan yang mendalam di hati kepada Imam Ali as."

Berikut ada kisahnya yang menarik, Kisah Dr. Isam al-Imad yang bahkan ada bukunya dan beredar ke seantero sosial media, bagi yang sudah menjangkaunya, syukurlah, namun bagi yang menemukan laman ini, beginilah kisahnya.

Ulama Wahabi Ini Akhirnya Menjadi Syiah Ali: Kisah Dr. Isam al-Imad

Dulu, aku berguru langsung kepada Abdul Aziz bin Baz, Mufti Besar Arab Saudi dan ikon utama ajaran Wahabi. Di bawah bimbingan langsungnya, aku mendalami kitab-kitab tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahhab, seperti Kitab Tauhid, Kasyf al-Syubuhat, dan Sirah Nabawiyah. Aku juga mengajar ajaran-ajaran itu di berbagai perguruan tinggi keislaman di Arab Saudi, bahkan dipercaya menjadi Imam Jumat di ibukota Yaman, Sanaa. Aku adalah salah satu mufti Wahabi yang disegani.

Namun, jauh di lubuk hati, ada kegelisahan yang tak bisa kutepis.

Aku bertanya dalam hati: Mengapa cinta kepada Imam Ali, Imam Husain, dan para Imam Ahlul Bait tetap menggelora dalam hati jutaan umat, bahkan setelah berabad-abad berlalu? Mengapa nama mereka hidup dan abadi, padahal banyak ulama di majelis Wahabi justru menghina mereka? Mengapa begitu banyak ceramah dan buku Wahabi yang membela Muawiyah dan Yazid, sambil memutarbalikkan fakta sejarah tentang Imam Ali dan para imam yang suci?

Aku menyaksikan sendiri, bagaimana di Arab Saudi, banyak majelis taklim dengan mudah mencela Imam Ali, bahkan mengucapkan kata-kata tidak pantas terhadapnya. Anehnya, ketika keutamaan Imam Ali disebut—bahkan dari kitab-kitab mereka sendiri—mereka tidak mampu menerimanya. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Dan aku mulai membaca… membaca dengan jujur dan objektif.

Semakin aku telaah sejarah Ahlul Bait, semakin aku sadar: apa yang dilakukan oleh Imam Ali penuh dengan akal, hikmah, dan logika jernih. Sementara, argumen Wahabi penuh dengan klaim kosong dan pembenaran buta, tanpa dasar rasional.

Pencerahan itu datang bukan hanya dari kitab Syiah, tapi justru berawal dari tulisan Sayyid Qutub, ulama Sunni Mesir yang amat mencintai Imam Ali dan Imam Husain. Dalam bukunya Kutub wa Syakhshiyyat, Sayyid Qutub membantah tuduhan-tuduhan Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Ali dengan dalil-dalil kuat berdasarkan sanad dan akal. Itu mengguncangku. Aku menemukan cinta yang sebelumnya tersembunyi dalam diriku sendiri: cinta kepada Imam Ali as.

Setelah membaca karya-karya Sayyid Qutub dan Ibnu Aqil al-Syafi’i, mufti besar di Yaman, kecintaanku kepada Ahlul Bait tak terbendung lagi. Kata-kata Sayyid Qutub benar-benar mengubah pemikiranku. Bahkan di Arab Saudi, banyak buku ditulis untuk membantah Sayyid Qutub karena pengaruhnya dianggap membahayakan doktrin Wahabi.

Pada tahun 1989, aku datang ke Iran dan belajar di Hauzah Ilmiah Qom. Di sinilah aku menemukan jawaban atas semua pertanyaanku. Jawaban-jawaban itu tak kudapat dari opini ulama, tapi dari al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan hadis-hadis Ahlul Bait. Kitab-kitab klasik seperti karya Syeikh Mufid menjadi peta hidayahku. Aku sadar: ini bukan sekadar mazhab, ini adalah jalan kebenaran.

Aku pun berikrar dalam hatiku: Ali adalah imamku. Ahlul Bait adalah warisan suci Rasulullah. Inilah Islam yang sejati.

Setelah meyakini Syiah sebagai mazhab kebenaran, aku menulis banyak buku untuk mengkritik ajaran Wahabi dari dalam. Salah satu bukuku yang terkenal adalah "Al-Zilzal", yang berisi perdebatanku dengan Syeikh Utsman Khamis, ulama Wahabi terkemuka. Perdebatan-perdebatan itu bahkan ditayangkan di televisi seperti Al-Kawthar, Al-Alam, dan Ahlul Bait TV. Sebagian perdebatan itu telah diterbitkan dalam bentuk buku.

Aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab tidak memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu dasar Islam, seperti logika (mantiq), ushul fiqh, atau tata bahasa Arab. Lebih dari itu, ia bahkan tidak memiliki metodologi kafir-mengkafirkan yang ilmiah dan terukur. Akibatnya, banyak umat Islam—baik Sunni maupun Syiah—divonis kafir secara serampangan. Tidak hanya divonis, tapi juga dibunuh oleh pengikutnya.

Aku juga mengkritik keras doktrin Wahabi tentang ziarah kubur. Dulu, aku sendiri takut lewat kuburan. Wahabi mengajarkan bahwa musuh terbesar Islam adalah... kuburan! Bukan Zionis, bukan AS, bukan ateisme. Kuburan! Mereka menghancurkan semua makam orang saleh, bahkan menganggap orang yang mendoakan di makam orang saleh sebagai musyrik. Itukah tauhid? Atau ini justru tauhid versi Amerika?

Buku tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahhab isinya bukan membahas tentang Allah, tetapi membahas kuburan sejak bab pertama. Maka jangan heran jika akhirnya Wahabi lebih sibuk melawan sesama muslim, bukan melawan penjajah dan penindas Islam. Kritik terhadap AS, Israel, atau sekte sesat lainnya hampir tak pernah terdengar dari ulama-ulama Wahabi. Tapi fatwa kafir untuk umat Islam? Itu tersedia setiap hari.

Aku pun menyaksikan para ulama Wahabi seperti Syaikh Rabi’ al-Madkhali menulis puluhan buku yang menyerang Sayyid Qutub, Syekh Muhammad Abduh, Ayatullah Khui, bahkan Sheikh Ghazali—tapi tidak pernah menulis satu pun buku yang membantah Zionisme, Marxisme, atau pemikiran sekuler Barat. Mengapa? Karena Wahabi sejak awal dibesarkan oleh kepentingan penguasa, bukan oleh amanat dakwah.

Kini aku tahu dengan pasti: Wahabi adalah ilusi tauhid yang merusak Islam dari dalam.

Dan aku bersaksi: Tidak ada jalan kebenaran kecuali jalan yang dibawa oleh Rasulullah dan diteruskan oleh Ahlul Baitnya. Siapa yang mengingkari Ali, maka dia telah mengingkari kebenaran. Siapa yang mencintai Ali, maka dia sedang menuju cahaya.

PANTANG HINA

Karbala akan selalu menjadi madrasah bagi para pejuang dan kaum merdeka hingga hari kiamat. Dan suara Husain (as) akan tetap menggema:

“Ketahuilah, si durjana putra durjana (Ibnu Ziyad) telah menempatkan kami di antara dua pilihan: pedang atau kehinaan. Dan sungguh, kehinaan takkan pernah kami terima!

Allah, Rasul-Nya, orang-orang beriman, jiwa-jiwa mulia, dan hati-hati yang tidak rela tunduk pada kehinaan — semuanya menolak untuk menaati kaum hina dan menukar kemuliaan dengan kehinaan.”

[ Gambar : By Persian Painter Abbas Al-Musavi. - File:Brooklyn Museum - Battle of Karbala - Abbas Al-Musavi - overall.jpg- Online Collection of Brooklyn Museum, Public Domain, Link]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tema, Logo, dan Panduan Identitas Visual Peringatan HUT Ke-80 Kemerdekaan RI Tahun 2025

Makna Telinga Berdenging