Wasiat Mas Pajangswara

Table of Contents
Wasiat Mas Pajangswara

Hilang sudah memang sejarah masa lalu, keagungan masa lampau Nusantara khususnya bangsa Jawa yang generasi sekarang bahkan sudah tak mengenali bahkan mau mengakuinya. Apalagi yang jaraknya jauh sebelum masa Mataram. Zaman Pangeran Diponegoro saja kita sudah sangat asing dan tidak tahu. Penjajahan Bangsa Barat itu benar adanya, mereka mengambil kekayaan sumber daya alam, Kekayaan karya tulis, kekayaan sejarah hingga kemanusiaan gaya hidup yang diubahnya menjadikan bangsa Jawa kehilangan kejawaannya.

Ribuan Kitab dijarah Penjajah

Tersebutlah ketika Geger Spei saat kekuasaan Sultan HB II. Pasukan barat dari Inggris mengambil ribuan kitab dan karya tulis beserta harta karun ke negaranya dan hingga saat ini tidak akan pernah kembali. Karena kemungkinan menjadi milik pribadi, dan dengan kelicikannya membuat hukum property rights yang memperkuatnya.

Kekayaan ketimuran dan kejawaan menjadi hilang. Bagaimana bangsa akan kembali hidup dan menaikkan derajatnya apabila perpustakaan karya keilmuannya dihilangkan beserta kekayaannya sebagai modal untuk hidup dan memberkuat bangsanya.

Namun masih ada alam, masih ada Tuhan, masih ada hukum Tuhan semesta Alam. Bukan tidak mungkin kekayaan-kekayaan keilmuan dan pengetahuan Jawani dapat bertumbuh kembali. Karena bagaimanapun tokoh-tokohnya memiliki kekuatan dan keilmuan serta ridha dari Allah SWT. Untuk masih dapat memelihara ketinggian keilmuan baik keislaman maupun turunan pengetahuan yang lain. Sebagaimana energi hal itu tidak akan pernah punah, mereka abadi, hanya tersembunyi dan dengan izin-Nya akan kembali muncul seiring perkembangan zaman dan peradaban.

Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro sang Herucakra, tokoh legendaris yang namanya masih saja harum hingga sekarang. Pencetus perlawanan hingga menginspirasi hadirnya negara Indonesia. Tokoh yang tetap memiliki sisi misterius yang memiliki kekayaan khazanah keilmuan dan pengetahuan yang sulit digapai. Kental sekali bayang-bayang semangat Karbala dalam perjuangan beliau. Apalagi ada kisah pertemuan Pangeran Diponegoro dengan sang Imam Mahdi pemimpinnya. Bahkan Imam Mahdi yang memberi beliau nama Abdul Hamid.

Pada masa tersebut dapat dibayangkan banyaknya pendukung Pangeran Diponegoro dengan pengetahuan, pendidikan dan keilmuan tradisi serta keagamaan yang sama. Memiliki pandangan yang sama, satu arah, satu tujuan perjuangan yang sama, tidak berseberangan, saling bahu membahu secara lahir bathin karena pengakuan kepada Allah SWT, Rasulullah dan seluruh penerusnya. Sungguh indah dan sangat jauh berbeda dengan sekarang.

Berikut adalah sebuah temuan yang berharga, sebuah kisah dari para pendukung Pangeran Diponegoro yang memiliki semangat jihad sebagai martir demi bumi pertiwi dan tujuan mulia lainnya. Sepenggal kisah yang memiliki dimensi makna luas dan sangat tinggi.

Wasiat Mas Pajangswara

Wasiat Mas Pajangswara R.Ng. Ronggowarsito Kaping II
Kepada Anak Turun Dan Orang Jawa
Agar Menyambut "panggilan Imam Husain "hal Min Nasirin Yansuruni"
(adakah Penolong Yang Mau Menolongku ?)
Di Setiap Zaman Kalabendu"

Mas Pajangswara Raden Ngabehi Ronggowarsito Ke II, adalah putra Yosodipuro II, ayah Mas Bagus Burham Ronggowarsito ke III, (yang menurut Juru Kunci Pemakaman Palar, Makam Ronggowarsito), bernama Jihad Sabil, Muhammad Abu Bakar Husain (sepertinya, nama tersebut nunggak semi (menggunakan nama yg sudah digunakan) dari nama Muhammad bin Abu Bakar, seorang panglima perang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sa).

Pujangga dan Perwira Kasunanan Surakarta

Mas Pajang Swara adalah pujangga sekaligus perwira Kasunanan Surakarta, yang terlibat dalam Perang Jawa (Java Oorlogh/Perang Diponegoro), ia menjadi Perwira Penghubung antara Ulama, Sri Susuhunan PB VI, dan Pangeran Diponegoro, Mas Pajang Swara turut menciptakan taktik perang yang dinamakan "Mimis Kencana", menurut Nancy K Florida, kepujanggannya adalah yang terbaik dari seluruh pujangga trah Pangeran Benawa Bin Sultan Hadiwijaya, Mas Pajangswara ditangkap karena pengkhianatan C.F Winter (Bapak Javanologi, yang berguru Sastra kepada Mas Pajang Swara), pada saat rumahnya di gledhah, tentara kolonial menyita tambur perang, bendera berwarna hitam bertuliskan arab, dan seluruh karyanya disita dibawa ke Belanda, dan dinyatakan terlarang dibaca.

Kesahidan Mas Pajangswara

Mas Pajangswara, dibawa ke Semarang, kemudian mengalami penyiksaan hebat, hingga menemui kesyahidan, jasadnya dibuang ke laut, dan terbawa arus kedalam tumpukan sangkrah (sampah sampah daun dan ranting) di daerah Luwar Batang, Mas Pajang Swara menitipkan wasiat secara tutur tinular melalui orang kepercayaannya, sebuah wasiat yang dikenal dengan nama Suluk Wasiyat Sekarbala disebut-sebut Kyai Mojo juga mewedar suluk ini dikalangan tentara santri Keparak Suranata Laban, penggunaan kata "Sekarbala" ini unik, ia adalah tembung camboran dari "Sekar Karbala" (Kembang Karbala) dan camboran dari "sekar bala karbala" (para pembela bunga Karbala), dan kutipan Wasiat (yang biasa ditulis dalam aksara pegon dan carakan Jawa) itu adalah:

واسات هيكي دأودأو كاڠّو جانا جالأو ڤأوتراكأو بِ ناڠإيڠ كاڠّو ساكابهإيڠ هاناك تأورأون جاوي سإيڠ هارِڤ نانداڠ جامان كالابندأو ّدأوه ڤأوترا چاڠكأو ناديان سرينارإيڠ سوارا هال مين ناسيرين يانسأورأوني ? اإيڠ وِواياڠان, هاجا دادوس ڮلاڮاه هإيڠ ڤإيڠّير كاربالا, ناڠإيڠ داديا ڤرإيڠ ڤِتأوڠ اإيڠكاڠ تاندِس اإيڠ اندهِڠ ّسيرا هيكأو تراهإيڠ جاوي كأودأو بيسا هامبداكاكِ هانتارانِ لاكأو كِوان لان لاكأو مانأوڠسا, هالا بچيك كأودأو تِتِلا ڮامبلاڠ ڤيندها باڮاسكارا لان چاندرا ّهأوريڤ هيكأو مأوڠ سِدِلا ناڠإيڠ ڤاتي هيكأو لاڠِّڠ لأوويه بچيك ماتي ساجرونإيڠ چاهيا تينيمباڠ أوريڤ ناڠإيڠ هانا لالادان سأووِت ّراڤالنا ايكي اإيڠ كأوكأولاإيڠ لِمبانا; اللّه ايكأو سيجي, موهامّاد ايكأو هأوتأوسانِ, كأوسِن هيكأو چاهيانِ

꧋ꦮꦱꦶꦪꦠ꧀ꦲꦶꦏꦶꦣꦸꦣꦸꦏꦁꦒꦺꦴꦗꦤꦗꦭꦸꦥꦸꦠꦿꦏꦸꦧꦌ ꦤꦔꦶꦁꦏꦁꦒꦺꦴꦱꦏꦧꦺꦲꦶꦁꦲꦤꦏ꧀ꦠꦸꦫꦸꦤ꧀ꦗꦮꦶ ꦱꦶꦁꦲꦫꦺꦥ꧀ꦤꦤ꧀ꦝꦁꦗꦩꦤ꧀ꦏꦭꦧꦺꦤ꧀ꦝꦸ ꦣꦸꦃꦥꦸꦠꦿꦕꦁꦏꦸ ꧋ꦤꦣꦾꦤ꧀ꦱꦿꦶꦤꦫꦶꦁꦱ꧀ꦮꦫꦲꦭ꧀ꦩꦶꦤ꧀ꦤꦱꦶꦫꦶꦤ꧀ꦪꦤ꧀ꦱꦸꦫꦸꦤꦶ?ꦆꦁꦮꦼꦮꦪꦔꦤ꧀ꦲꦗꦣꦝꦺꦴꦱ꧀ꦒ꧀ꦭꦒꦃꦲꦶꦁꦥꦶꦁꦒꦶꦂꦏꦂꦧꦭ꧈ꦤꦔꦶꦁꦣꦝꦾꦥꦿꦶꦁꦥꦼꦠꦸꦁꦆꦁꦏꦁꦠꦤ꧀ꦝꦺꦱ꧀ꦆꦁꦄꦤ꧀ꦝꦺꦁ ꦱꦶꦫꦲꦶꦏꦸꦠꦿꦲꦶꦁꦗꦮꦶ ꧋ꦏꦸꦣꦸꦧꦶꦱꦲꦩ꧀ꦧꦺꦣꦏꦏꦺꦲꦤ꧀ꦠꦫꦤꦺꦭꦏꦸꦏꦼꦮꦤ꧀ꦭꦤ꧀ꦭꦏꦸꦩꦤꦸꦁꦱ꧈ꦲꦭꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦏꦸꦣꦸꦠꦼꦠꦼꦭꦒꦩ꧀ꦧ꧀ꦭꦁꦥꦶꦤ꧀ꦝꦧꦒꦱ꧀ꦏꦫꦭꦤ꧀ꦕꦤ꧀ꦝꦿ ꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦲꦶꦏꦸꦩꦸꦁꦱꦼꦣꦼꦭ ꦤꦔꦶꦁꦥꦠꦶꦲꦶꦏꦸꦭꦁꦒꦼꦁ ꦭꦸꦮꦶꦃꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦩꦠꦶꦱꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁꦕꦲꦾ ꦠꦶꦤꦶꦩ꧀ꦧꦁꦈꦫꦶꦥ꧀ꦤꦔꦶꦁꦲꦤꦭꦭꦣꦤ꧀ꦱꦸꦮꦺꦠ꧀ ꦫꦥꦭ꧀ꦤꦆꦏꦶꦆꦁꦏꦸꦏꦸꦭꦶꦁꦊꦩ꧀ꦧꦤ; ꧋ꦄꦭ꧀ꦭꦃꦆꦏꦸꦱꦶꦗꦶ꧈ꦩꦺꦴꦲꦩ꧀ꦩꦣ꧀ꦆꦏꦸꦲꦸꦠꦸꦱꦤꦺ꧈ꦏꦸꦱꦺꦤ꧀ꦲꦶꦏꦸꦕꦲꦾꦤꦺ

"Wasiat iki dudu kanggo jono jalu putraku bae, Nanging kanggo sakabehing anak turun jawi, Sing arep nandang jaman kalabendu, Duh putra cangku, Nadyan srinaring swara hal min nasirin yansuruni ?, Ing wewayangan, aja dados glagah hing pinggir Karbala, nanging dadya pring petung ingkang tandes ing andheng, Sira iku trahing jawi, kudu bisa hambedakake antarane laku kewan lan laku manungsa, ala becik kudu tetela gamblang pindha bagaskara lan candra, Urip iku mung sedela, Nanging pati iku langgeng, Luwih becik mati sajroning cahya, Tinimbang urip nanging ana laladan suwet, Rapalna iki ing kukuling lembana; Allah iku siji, Mohammad iku utusane, Kusen hiku cahyane"

"Wasiat ini bukan hanya diperuntukkam bagi anak keturunanku semata, tetapi diperuntukkan bagi seluruh anak turun "Jawi" (Jiwa kang anut hing Wilayat minulya "jiwa yang berwilayah kepada manusia mulia pilihan Allah), yang akan menghadapi Zaman Kalabendu (Zaman Kerusakan). Wahai putra putri keturunan jawi, andaikan engkau mendengar seruan (imam Husain sa) "hal min nasirin yansuruni" (adakah penolong yang mau menolongku ?) Meski seruan itu hanya hadir lewat mimpi, jangan engkau hanya berdiri di pinggir Karbala, seperti batang tangkai bunga tebu (glagah) yang lemah, tapi jadilah Bambu "Petung" (Bambu Paling Kuat) yang kuat menghantam banjir bah serangan musuh (Imam Husain)

Kamu ini putra-putri Jawi, mestinya harus bisa membedakan antara prilaku hewani dan prilaku yang menjunjung nilai kemanusiaan, Haq dan batil, benar dan salah mestilah jelas, seperti jelasnya sinar matahari dan sinar rembulan.

hidup itu hanya sebentar, dan kematian itu abadi, lebih baik mati bersama cahaya, daripada hidup tapi dalam alam kegelapan

Dawam dan tanamkan dalam kedalaman hatimu paling dalam, bahwa Allah itu Satu, Muhammad itu utusan Allah, Husain adalah cahayanya

Allahumma Shali ala Muhammad wa ali Muhammad wa ajil farajahum

Posting Komentar