Ironi Efisiensi Anggaran

Table of Contents
Ironi Efisiensi Anggaran

Efisiensi Anggaran dilontarkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pada tahun 2026 bahkan TKD atau Transfer ke Daerah dikurangi banyak, sampai 50% kabarnya. Paradoks Efisiensi Anggaran ini ditambah lagi dengan naiknya rasio pajak, pun penambahan pajak-pajak baru yang dilakukan pemerintah. Hal ini menjadi Ironi Efisiensi Anggaran karena ada pengeluaran anggaran yang sama sekali jauh dari makna Efisiensi.

Paradoks Efisiensi Anggaran

Negara memang sedang menghadapi berbagai macam kesulitan, utamanya adalah kesulitan dalam keuangan negara. Sulit sekali mendapatkan pemasukan untuk menjalankan roda pemerintahan. Namun di sisi yang lain ada anggaran yang dihabiskan banyak sekali namun hasilnya belum terbukti menambah pemasukan dan kesejahteraan masyarakat yakni Program MBG atau Makan Bergizi Gratis yang memerlukan pendanaan Ratusan Trilyun Rupiah bahkan mungkin akan mencapai angka ribuan trilyun rupiah.

Pemerintah benar-benar cancut taliwondo mengerahkan segala upaya memeras rakyatnya untuk membiayai kebutuhan dan kesenangan penguasanya. Merekapun menaikkan pajak-pajak, dan menambahkan pajak-pajak lainnya yang menyasar hingga ke pedagang kecil.

Celakanya memang, Dewan Perwakilan Rakyat aka DPR selalu merinci pendapatannya dan dalam upayanya itu bermaksud untuk memperlihatkan betapa kecilnya pendapatan mereka. Maka hasilnya pun adalah peningkatan dan kenaikan tunjangan-tunjangan pendapatan bagi mereka.

Rakyat pastinya tidak akan tinggal diam melihat fenomena pencurian dan pencopetan hasil usaha jerih payahnya setiap harinya. Mereka akhirnya bisa memahami bagaimana pajak yang dilakukan untuk mencuri pendapatannya tersebut dipergunakan untuk apa. Mereka saat ini masih menggerutu, belum marah.

Pemerintah Derah memutar otak

Karena adanya pemotongan anggaran TKD dari Pusat. Pemerintah Derah pun memutar otak. Mereka bergerak diam-diam juga menaikkan rasio pajak untuk rakyatnya di daerah. Pajak Bumi dan Bangunan dinaikkan bahkan hingga 1000%. Banyak cerita dan khabar tidak mengenakkan tentang hal ini.

Kenikmatan duduk menjadi pejabat dan berkuasa dengan bayaran yang tinggi. Kenikmatan hidup yang sudah dirasakan. Kenikmatan hidup yang baru akan dicapai. Serta kebutuhan-kebutuhan baru untuk mencukupi kehidupannya yang biasanya dengan mudah didapatkan, baik dari mark up, nyopet maupun korupsi sudah sulit dilakukan lagi.

Bagaimana mengatasinya ketika TKD terkena efisiensi dan dipotong? Maka rakyatlah yang harus menanggung, rakyat harus membayar, mau tidak mau rakyat harus dapat menghidupi pegawai negeri, pejabat dan aparatur-aparatur negara. Apapun alasannya rakyat yang sudah menjadikan hal ini terjadi.

Hidup akan makin Berat

Dalam negara demokrasi, memang dilakukan pemilihan umum untuk memilih pemimpinnya. Rakyatlah yang memilih pemimpinnya. Jadi apapun yang terjadi rakyat harus bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya. Meski pilihan tersebut tersedia bukan karena kehendak rakyat. Namun bagaimanapun rakyatlah yang mensupport mengapa ini terjadi.

Hidup akan makin berat karena penguasa dengan kekuasaannya akan mengarahkan beban negara kepada rakyat. Apapun hasil yang didapatkan rakyat atas usaha-usahanya didalamnya ada hak orang lain, selain hak negara yang memberikan jaminan dan janji kesejahteraan. Meski belum tercapai, namun hidup hari ini ada karena rakyat telah menjaminkannnya kepada negara.

Rakyat akan makin pusing dengan kelakuan pemerintahnya. Pemerintah mengembangkan berbagai macam strategi untuk mendapatkan pemasukan untuk menjalankan roda pemerintahannya. Hingga lupa bahwa mereka harus bahu membahu memperbaiki kehidupan bernegara bersama rakyatnya.

Rakyat semakin pusing dengan kebijakan pemerintah yang semakin meninggalkannya. Rakyat dianggap sudah sejahtera berapapun penghasilannya sehingga untuk jaminan kesehatan pun akan dinaikkan iurannya. Sementara praktik-praktik pelayanan BPJS terlihat semakin suram.

Negara dan Refleksi

Negara kita tercinta ini seharusnya melakukan refleksi. Apa yang sudah dilakukan dengan baik dan apa yang belum. Sebelum adanya kemarahan rakyat yang terorganisir. Meskipun kemarahan rakyat tersebut akan sulit terjadi. Namun bagi manusia dengan adat ketimurannya, rasa malu dan melakukan refleksi diri adalah hal terbaik yang dapat dilakukan.

Apakah hal tersebut bisa dilakukan? Sulit memang menjawab hal ini. Karena melihat perilaku para pemimpin bangsa, para wakil rakyat dan sebagainya. Para Ketua Partai Politik yang bersama-sama saling bahu membahu melakukan korupsi berjamaah. Sungguh membayangkan adanya refleksi untuk memunculkan kesadaran dari dalam sangat tidak mungkin terjadi.

Karena para penguasan memiliki power. Utamanya adalah mereka masih memiliki uang yang sangat banyak. Namun menekan negara untuk terus melakukan penarikan pajak, menggerus dan menjual sumber daya alam. Demi orang-orang yang memiliki akses dan sudah kaya untuk makin kaya dan memberantas kemiskinan bagi mereka, keluarga, sahabat, dan keturunannya.

Uang yang sulit didapatkan oleh rakyat kecil tentunya adalah hal yang mustahil apabila negara ini memiliki manajemen dan sistem yang dilakukan dengan baik.

Kita masih berada dalam ruang mimpi untuk mendapati hari-hari penuh keadilan dimana kita merasakan bahwa tanah nusantara ini adalah milik dan penghidupan orang-orang senusantara.

Ya kita masih bermimpi dalam ironi efisiensi anggaran, yang bukan untuk menyelesaikan masalah besar. Namun untuk menyelesaikan masalah kecil, yakni cita-cita pemimpin dan penguasa yang memiliki mimpi melakukan pemborosan anggaran dan mengecilkan pendapatan orang lain.

[ Photo Oleh David Whelan - https://www.flickr.com/photos/davidpwhelan/26921713274/, CC BY 2.0, Pranala ]

Posting Komentar